GELISAHNYA SEKOLAH PINGGIRAN DI ATAS KEBAHAGIAAN SUBSIDI KUOTA INTERNET
Sekolah pinggiran identik dengan sekolah yang jauh dari keramaian kota, terpencil, daerahnya miskin dan sering termarjinalkan. Suka duka di setiap kegiatan proses belajar mengajar bukan sesuatu yang asing bagi pemangku sekolah, guru, dan orang tua siswa. Dengan segala daya dan upaya pemangku sekolah (stakeholder) berupaya membangun komunikasi sinergi dengan pemerintah daerah, dinas pendidikan, komite sekolah, tokoh masyarakat, guru, dan orang tua siswa, dan siswa secara familier bermufakat dan sepakat melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan sistem jarak jauh atau daring di masa pandemi Covid-19.
Visi, misi, dan tujuan sekolah adalah cita-cita mulia untuk turut serta mencerdaskan anak bangsa, di samping karena perintah Allah dan Rasulnya “belajar mulai dari buaian (bayi) sampai liang lahat”. Berbekal prinsip hadis Nabi Muhammad (SAW) “barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” HR. Muslim. Surat edaran Mendikbud Nomor 40 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19) adalah dasar keharusan belajar di rumah, belajar dengan moda jarak jauh (daring) untuk ikhtiar menghadapi pandemi Covid-19 yang patut dijunjung tinggi pelaksanaannya.
Dus, menjadi prestise bagi Pemerintah atas suksesnya program subsidi kuota internet yang telah sampai pada sekolah-sekolah, dengan harapan program belajar di rumah di masa pandemi Covid-19 dapat berjalan sesuai rencana. Tetapi yang terjadi justeru sekolah menjadi gelisah, banyak persoalan bermunculan, bahkan sampai yang fundamental. Persoalan-persoalan itu menjadi duri tercapainya tujuan Pendidikan di masa darurat penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19). Persoalan pertama, ketersediaan perangkat digital yang dimiliki siswa. Hampir seratus persen siswa pinggiran tidak memiliki tablet, laptop, komputer. Sementara handphon yang dimiliki belum semuanya android.
Persoalan kedua, ketersediaan jaringan internet dan kuota internet terbatas dan tidak semua sekolah-sekolah pinggiran memiliki konektivitas jaringan internet, baik jaringan berkabel (wired Network) atau nirkabel (wireless network). Sementara kuota data internet yang dimiliki siswa secara umum terbatas pada kisaran 1GB - 3 GB. Sedangkan subsidi kuota data internet tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI nominalnya cukup fantastis, yaitu sebesar 10 GB - 12 GB sejak tahun 2020 sampai saat ini sama sekali tidak dapat dipakai.
Persoalan ketiga, karakter pendidikan bagi orang tua dan siswa di sekolah pinggiran mengalami pergeseran. Begitu juga nilai utama Pendidikan karakter seperti: religius, nasionalis, integritas, gotong royong, dan mandiri turut terdegradasi oleh zaman, terlebih ganasnya revolusi Pendidikan abad ke-21.
Persoalan keempat, Rumah belum bisa menjadi tempat belajar yang menyenangkan (baiti jannati) atau school of love. Anggapan siswa dan orang tua itu adalah rumah hanya tempat bermain dan sekolah sebagai tempat belajar.
Ketersediaan perangkat digital bagi siswa seperti kepemilikan tablet, laptob, computer, dan handphon android bergantung pada perekonomian masyarakat desa. Selain itu kondisi tingkat pendidikan rendah, ekonominya bertopang pada beberapa sektor pendapatan seperti hasil pertanian, dan beberapa hasil komoditi lain seperti padi, kacang-kacangan, buah-buahan dan sayuran. Yang mana hasilnya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari dan sebagian untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Sementara sektor peternakan seperti ayam, kambing, bebek, sapi dan beberapa jenis ikan tertentu peternakannya masih bersifat konvensional.
Lain halnya dengan persoalan jaringan internet dan kuota internet yang adanya terkendala oleh penyedia jaringan dan rendahnya kapasitas data siswa atau sekolah pinggiran. Koneksitas jaringan nirkabel (wireless network) di daerah pinggiran terkait dengan koneksi broadband yang secara umum bergantung pada garis subscriber digital (DSL) yang dimiliki perusahaan telepon dan kabel yang disediakan oleh penyedia layanan internet (ISP). Sementara DSL dan ISP adalah milik perusahaan TV kabel.
Jaringan berkabel (Wired Network) membutuhkan gelombang elektromagnetik sebagai transmisi data, ini berarti ada ketergantungan pada tower milik perusahaan telkomsel karena faktor letak geografis. Kalaupun ada, hanya milik orang-orang yang tingkat perekonomiannya mapan, dan itu hanya orang-orang tertentu.
Persoalan kuota data internet siswa yang rata-rata kuota mandiri sebatas 1GB - 3GB kurang cukup untuk belajar daring, sedangkan subsidi kuota data internet dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI setingkat SMA sebesar 10GB - 12GB dari tahun 2020 sampai saat ini tidak dapat dipakai. Persoalan yang terjadi karena perbedaan aplikasi pembelajaran antara sekolah dengan penyedia subsidi kuota internet, kondisi keterbatasan sarana dan pertimbangan finansial.
Pergeseran karakter pendidikan orang tua dan siswa berlangsung ke arah penurunan karakter negatif terdampak oleh degradasi zaman, ganasnya revolusi pendidikan abad ke-21, kecepatan transformasi teknologi dan komunikasi, dan tingginya kompetisi kerja dan peluang menciptakan lapangan kerja.
Kesuraman rumah tidak lagi bisa menjadi tempat belajar yang menyenangkan (baiti jannati) atau school of love bagi siswa, tidak lepas dari kaburnya persepsi orang tua dan siswa terhadap pentingnya nilai-nilai pembelajaran di rumah bersama orang tua dan masyarakat.
Persoalan-persoalan fundamental tersebut dengan bekal visi, misi, dan tujuan yang mulia sekiranya dapat diselesaikan dengan baik. Seperti ketidak tersediaan perangkat digital bagi siswa yang tidak mudah dipenuhi dalam waktu berjalan di masa pandemi Covid-19. Padanya faktor mendasar ada pada perekonomian, masalah rendahnya pendidikan masyarakat, dan masalah revolusi zaman di abad 21 yang sangat berdampak pada sekolah. Solusi tepat adalah memberikan kelonggaran belajar daring dengan berkelompok kecil disalah satu rumah teman siswa yang memiliki perangkat digital dibawah pengawasan orang tua. Memberikan penguatan kepada orang tua siswa dan masyarakat melalui kunjungan guru BP/BK ke rumah-rumah akan pentingnya sarana belajar dan besarnya pengaruh negatif di abad 21 dengan tetap menggunakan protokol kesehatan.
Kendala koneksitas jaringan internet yang sebagian kecil dimiliki orang-orang tertentu, seperti birokrat dan pengusaha di daerah pinggiran karena faktor tidak adanya jaringan nirkabel (Wireless Network) atau jaringan berkabel (Wired Network). Dapat diambil jalan keluar melalui pemberian himbauan kepada siswa dan orang tua siswa untuk segera bergabung dalam kelompok kecil dirumah temen yang memiliki jaringan, atau meminta izin kepada birokrat atau pengusaha dengan kelompok kecil untuk dapatnya menggunakan fasilitas jaringan yang dimiliki.
Sedangkan persoalan kuota data internet baik yang mandiri dengan kapasitas 1GB - 3GB dan persoalan subsidi kuota internet yang tidak dapat difungsikan, dapat diantisipasi melalui penggunaan data secukupnya dan selebihnya bisa bergantian sesama teman kelompok kecil. Untuk kuota data internet subsidi pemerintah yang tidak dapat difungsikan dapat diatasi melalui pembuatan dan penggunaan aplikasi pembelajaran moda daring oleh sekolah dalam bentuk Website. Berbekal alamat Website, Username dan Password yang dibagikan oleh sekolah kepada guru dan siswa diharapkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar mode daring baik dan lancar.
Pergeseran karakter pendidikan yang terjadi pada siswa dan orang tua ke arah penurunan karakter negatif secara sinergi dapat diambil kebijakan melalui pemberdayaan fungsi orang tua dan anak di rumah, fungsi stakeholder, pendidik, dan guru BP/BK selaku communities of character di dalam sekolahan. Sikap cepat dan tepat membuat jadwal kunjungan kerumah orang tua siswa, memberikan sosialisasi dan penguatan tentang betapa urgennya konsep pendidikan karakter sebagaimana Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017 adalah suatu keniscayaan.
Pemberian penguatan terhadap siswa dan orang tua terhadap degradasi zaman, ganasnya revolusi pendidikan abad ke-21, kecepatan transformasi teknologi dan komunikasi, dan tingginya kompetisi kerja dan peluang menciptakan lapangan kerja dapat melalui pengamalan nilai-nilai karakter bapak Ki Hajar Dewantara “setiap orang menjadi guru setiap rumah menjadi sekolah”. Anggota keluarga yang dewasa mengajarkan sikap religius, kemandirian, nasionalisme, integritas, dan gotong royong kepada anak-anaknya. Dan yang usia anak-anak secara familier, diberi tempat dan waktu untuk memperoleh pendidikan karakter sejak dini. Sementara bagi orang tua dan siswa yang memiliki persepsi belajar tidak langsung (indirect teaching) atau belajar dari rumah (learn from home) dianggap kurang tepat, diberi penjelasan tentang 4 pilar Pendidikan yang dicanangkan UNESCO, yaitu: 1) learning to know, 2) learning to do, 3) learning to be, 4) learning to live. Dan juga diingatkan tentang empat kompetensi dari tujuan Pendidikan harus dicapai, yaitu: kompetensi: 1) sikap spiritual, 2) sikap sosial, 3) pengetahuan, dan 4) Keterampilan.
Pada persoalan kegelisahan sekolah terhadap rumah belum bisa menjadi tempat belajar yang menyenangkan (baiti jannati) atau school of love, dapat diselesaikan dengan cara memberikan penguatan bahwa rumah itu berada pada tanggung jawab orang tua dan tempat memberikan pendidikan karakter, orang tua harus siap selalu menjadi model (role model) untuk anak-anak, siap menjadi soko guru, dan selalu pemberi rasa aman.
Intisarinya adalah pelaksanaan pembelajaran moda daring bagi sekolah pinggiran di masa pandemi Covid-19 situasi dan kondisi siswa berada pada serba kekurangan. Konektifitas jaringan internet hanya dimiliki orang-orang tertentu karena faktor jaringan nirkabel (wireless network) atau jaringan berkabel (Wired Network) terkait dengan DSL dan ISP milik perusahaan TV Kabel. Tingkat perekonomian dan pendidikan rendah tidak dapat menjangkau perangkat digital seperti komputer, laptop, dan handphone android. Sementara subsidi kuota internet 10GB – 12GB pemerintah tidak dapat dimanfaatkan karena perbedaan aplikasi pembelajaran antara penyedia subsidi dan sekolah, implikasinya sekolah pinggiran berada dalam kegelisahan.
Komitmen sekolah terhadap visi, misi, dan tujuan pendidikan dimasa belajar dari rumah (learn from home) adalah sebuah keniscayaan untuk turut serta mewujudkan pembangunan Pendidikan Nasional berdasar paradigma membangun manusia seutuhnya. Dengan kondisi finansial yang dimiliki, sekolah pinggiran tetap menjalankan proses kegiatan belajar mengajar moda daring di masa pandemi Covid-19 dengan menggunakan aplikasi website tersendiri.
BIODATA PENULIS:
Nama : Abdul Hakam Mubarok
Instansi/ Lembaga: SMA Muhammadiyah 3 Maduran Kab. Lamongan
Surel/Email : ahmubarok7@gmail.com
No. Wa : 081357110455